5/14/10

Rethingking On the Nation

Tugas politik modern adalah menjinakkan kekuasaan negara, mengarahkan kegiatan-kegiatannya ke arah tujuan-tujuan yang dianggap sah oleh rakyat yang dilayaninya, dan menjalankan kekuasaan di bawah aturan hukum” Francis Fukuyama

Jauh sebelum perhitungan masehi dimulai, para filsuf Yunani Kuno sudah pusing memikirkan bentuk negara apa yang paling ideal pagi manusia. Plato dan Aristotels nampaknya adalah filsuf yang paling mengemuka dalam hal ini. Bagi Plato, negara dengan ciri komunisme adalah bentuk yang paling ideal pagi manusia. Kepemilikan individu dilarang karena dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan berimplikasi lebih jauh terhadap konflik. Plato bahkan berpendapat bahwa seorang laki-laki tidak boleh memiliki istri tertentu atau sebaliknya, ibu tidak boleh memiliki anaknya, karena semua adalah milik negara. Robert Nisbet menyebut pemikiran Plato ini sebagai “nihilisme sosial” (Suhelmi, 2004). Sedangkan Aristoteles, meskipun ia adalah murid Plato, ia tidak sependapat dengan gagasan gurunya itu. Bagi Aristoteles, nihilisme yang digagas oleh gurunya tersebut terlalu berlebihan dan mengkhianati sifat dasar manusia. Nihilisme Plato akan menghalangi tercapainya kebahagiaan duniawi yang semestinya didapat oleh manusia. Arisoteles sendiri mengusulkan agar sebuah negara hendaknya berbentuk aristokrasi, di mana negara dipimpin oleh beberapa orang namun tetap bertujuan kemakmuran bersama.
Seiring dengan berjalannya roda sejarah, pemikiran tentang bentuk negara yang ideal pun terus bermunculan. Pada abad ke 4 M, St. Agustinus muncul dengan konsep negara berdasarkan legitimasi teologisnya. Negara seperti ini sempat terwujud dalam bentuk imperium Roma, namun hancur menjelang munculnya peradaban Renaissance pada abad ke 14 M. Pada abad ini, Niccolo Machiavelli lahir dan mengobrak-abrik tatanan politik kala itu dengan gagasan negara sekuler (dan brutal) nya. Di abad selanjutnya, Martin Luther dan John Calvin menyusul dengan perlawanan terhadap absolutisme Vatikan. Pada abad ke 16, giliran Thomas Hobbes yang menggemparkan dunia dengan gagasan negara Leviathan yang bengis itu. Sedikit berjarak dengan Hobbes, John Locke memulai abad baru pemikiran ketatanegaraan dengan negara liberalnya. Konsep liberalisme Locke kemudian dimodifikasi dan disempurnakan oleh Montesquieu dan J. J. Rousseau. Di waktu dan tempat yang berbeda, Hegel muncul dengan gagasan negara integralistiknya. Karl Marx, yang sejatinya adalah pengagum dialektika Hegel, merekonstruksi gagasan Hegel dengan memproyeksikan dialektika idealisme Hegel ke dimensi material. Dengan metode ini (dialektika materialisme), Karl Marx berpendapat bahwa negara komunis adalah negara yang paling baik (Russel: 1945).
Dari sedikit gambaran di atas, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa pemikiran tentang bentuk negara ideal selalu ada dari masa ke masa. Namun, di era globalisasi sekarang ini, ada kecenderungan bahwa masyarakat dunia telah merasa “nyaman” dengan demokrasi liberal ala Amerika Serikat. Pernyataan ini dikemukakan oleh Francis Fukuyama dalam buku monumentalnya, The End of History and the Last Man (1992). Dalam bukunya, Fukuyama mengungkapkan bahwa dengan runtuhnya komunisme Soviet, terbukanya “tirai bambu” RRC, serta tren demokratisasi pemerintahan di negara dunia ketiga, demokrasi liberal akan menjadi “puncak sejarah” pemikiran ketatanegaraan. Sejak mengemukakan pendapat ini, Fukuyama kemudian oleh para ilmuwan politik dikategorikan sebagai pemikir neo-konservatif. Pendapat Fukuyama akhirnya mendapat berbagai tanggapan dari banyak ilmuwan. Anthony Giddens mengusulkan bahwa negara dengan bentuk sosial-demokrat dapat menjadi alternatif lain (The Third Way). Dengan pandangan yang lebih luas, Samuel P. Huntington membantah pernyataan Fukuyama, dan menganjurkan setiap negara untuk mengembangkan konsep kenegaraan yang sesuai dengan sosio-kultural masing-masing (Huntington: 2003).
Terlepas dari prediksi Fukuyama, anjuran Huntington terhadap tiap negara untuk merumuskan konsep kenegaraannya masing-masing adalah sangatlah tepat dan harus diindahkan. Demokrasi liberal tidak sempurna, ia justru mengandung banyak permasalahan. Lack freedom is unhappiness, too much freedom is chaos. Demokrasi liberal telah membuat makna kebebasan menjadi terdistorsi dan kebablasan. Fukuyama sendiri dalam bukunya yang bertajuk Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order dengan rendah hati mengakui hal ini. Di negara-negara yang menganut demokrasi liberal, masyarakat mengalami dekadensi moralitas yang begitu besar. Kapital sosial yang sejatinya merupakan pelumas organisasi, kapasitasnya semakin menurun seiring dengan makin populernya sekularisme. Angka perceraian, kelahiran anak di luar nikah, serta kriminalitas meningkat hebat di negara-negara demokrasi liberal seperti Amerika dan negara-negara Skandinavia (Fukuyama: 1999). Fakta ini sedikit menunjukkan sisi kelam dari demokrasi liberal.
Dari dunia pemikiran Islam, Murtadha Muthahhari (1995) sudah mengantisipasi hal dekadensi moralitas barat ini dalam karya miliknya, Falsafah Akhlak: Kritik atas Konsep Moralitas Barat. Dalam bukunya itu, Muthahhari mengkritik konsepsi moral yang diajukan oleh para filsuf barat macam Bertrand Russel. Sayang, dengan analisis yang begitu bagus, karya Muthahhari ini tidak diimbangi dengan data empiris yang meyakinkan sehingga mudah untuk dibantah.
Penulis sendiri yakin, masalah kebebasan inilah yang sejatinya menjadi muara perselisihan para filsuf maupun para politikus. Seberapa jauhkah manusia berhak atas kebebasannya? Sejauh manakah pemerintah mempunyai otoritas untuk membatasi kebebasan rakyatnya? Kedua pertanyaan fundamental inilah yang selalu menggelayut di benak mereka.
Di tengah hegemoni sekularisme dan liberalisme yang makin membabi buta, ada usulan untuk menerapkan hukum-hukum serta konsep moralitas agama. Paling tidak, ini dapat terwakili dengan pendapat beberapa pemikir religius muslim seperti Abdul Qaddim Zallum, Taqiyuddin al-Nabhani, dan beberapa pemikir lainnya. Mereka menginginkan agar, paling tidak negara yang mayoritas penduduknya muslim, menerapkan konsep khilafah dalam kenegaraan mereka. Menurut mereka, khilafah merupakan konsep yang telah ditentukan (given) oleh agama (baca: Islam) Dengan menerapkan khilafah, mereka yakin bahwa tata masyarakat yang harmonis bisa terwujudkan. Yang jadi pertanyaan, apakah khilafah benar-benar mandat dari Tuhan?
Di antara sarjana muslim sendiri, ditemukan berbagai pendapat yang berbeda. Zallum dan Nabhani adalah mereka yang berada di garda depan dalam mendukung proyek penegakkan khilafah. Di sisi yang lain, Ali Abdul Raziq, Mohammed Arkoun, Abed al-Jabiri, Mohamed Talbi, dan sebagainya dengan getol menolak justifikasi tersebut. Dalam karyanya yang kontroversial, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Abdul Raziq membantah pendapat para pendukung khilafah. Menurutnya, khilafah tidak mendapatkan rujukannya di dalam dua sumber otoritatif Islam: al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Jabiri secara lebih lugas bahkan mengatakan bahwa khilafah hanyalah refleksi “bawah sadar politik” dari bangsa Arab. Serupa tapi tak sama, Mohamed Talbi melihat ada kemungkinan untuk mensintesakan konsep demokrasi barat dengan ajaran Islam, membentuk apa yang dinamakan oleh Nur Cholis Madjid sebagai “Demokrasi Religius”.
Penulis tidak ingin meluruskan pertentangan antara dua kubu ini. Penulis sadar tidak memiliki otoritas yang cukup untuk melakukan itu. Namun, seandainya ditanya pendapat pribadi, penulis cenderung pada pendapat yang kedua. Asumsi penulis, konsep khilafah yang ditawarkan oleh Zallum dan Nabhani identik dengan negara otoriter: anti kritik dan absolut. Pemerintahan yang seperti ini tentu saja sangat berbahaya dan sangat rawan untuk diselewengkan. Kita tentu masih ingat dengan wejangan Lord Acton bahwa; power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely (Budiardjo:2008). Perlu diyakini bersama, wejangan Lord Acton tidak berdasar pada konsep ideal, tapi fakta historis yang sebenarnya. Absolitisme memang selalu menampilkan wajah liar dalam sejarah kita. Oleh karena itu penulis yakin, Islam tidak akan memberikan konsep absolut yang “tends to corrupt” semacam itu.
Lalu, pemerintahan apa yang lebih ideal?
Butuh sebuah telaah yang kritis, lagi komprehensif untuk menjawab pertanyaan ini. Penulis tidak keberatan, bahkan sangat mendukung, apabila konsep hukum agama beserta moralitasnya dapat diterapkan dalam pemerintahan. Sebagai seorang yang beragama, penulis yakin bahwa ajaran-ajaran agama merupakan konsep transenden yang paripurna. Hanya saja, konsep yang ditawarkan harus benar-benar matang, dalam artian, dapat menjamin eksistensi keragaman dan harmoni kemanusiaan. Jangan sampai gara-gara penafsiran yang sepihak dan bias dengan ragam tribalisme, agama menjadi tercoreng dengan tuduhan dehumanisasi seperti yang dulu pernah terjadi. Kalaupun konsep pemerintahan yang lebih bagus itu tidak berasal dari agama, sejauh ia tidak bertentangan dengan tujuan agama (dalam Islam: maqashid al-syar’iyyah), maka konsep itu juga bagus dan layak diterapkan. Bukankah politik itu “al-ri’ayah li syuun al-ummah” (akomodasi terhadap kepentingan umat)? Yang jelas, jangan sampai nalar kritis kita terberangus oleh status quo yang melalaikan ini.
Sumber:
Suhelmi, Ahmad. (2001). “Pemikiran Politik Barat”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Muthahhari, Murtadha. (1995). Falsafah Akhlak: Kritik atas Konsep Moralitas Barat.
Huntington, Samuel P. (2004). “Political Order in Changing Society” terj. Jakarta: PT RajaGrasindo Persada.
Fukuyama, Francis. (1999). “The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Raziq, Ali Abdul. (2000). “Al-Islam wa Ushul al-Hukm”. Beirut: Al-Thab’ah al-‘arabiyyah al-Jadidah.
Budiardjo, Miriam. (2008). “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Russel, Bertrand. (1945). “History of Western Philosophy”. New York: Simon and Schuster Inc.